Persoalan nasib masih akan tetap menjadi perdebatan sengit meski sampai hari kiamat tiba. Sebagian memahami sifatnya yang passive-constant dan mutlak, sementara sebagian lagi memahami sifatnya yang active-dynamic dan changeable (dapat diubah). Tidak berhenti pada titik itu saja, beberapa pertanyaan juga timbul, misalnya apakah anda diberi kebebasan untuk menciptakannya atau hanya kekuatan Tuhan lah yang memiliki hak menciptakannya. Masih banyak lagi bentuk kontroversial yang menyelimuti tentang nasib.
Apapun pemahaman atau pendapat anda tentang nasib maka tetap saja tidak ada jaminan kemutlakan apakah pemahaman tersebut benar atau salah, sebab untuk hal-hal tertentu memang banyak alasan yang membuat anda meyakini kebenaran dari pemahaman yang anda miliki. Dalam konteks tersebut maka menurut saya bukanlah perjuangan yang sangat penting untuk membawa persoalan pemahaman nasib ini ke meja perundingan agar bisa diciptakan pemahaman tunggal yang representative, karena hampir dipastikan bahwa hal itu tidak akan bisa dicapai.
Terlepas dari kontroversi diatas, dalam tulisan ini saya ingin mengajak anda memahami nasib dari suatu perspektif tertentu. Kalau anda menjadikan kehidupan ini sebagai materi belajar, maka cobalah memahaminya dari sudut perspektif logika: “Pilihan dan Konsekuensi”. Hal itu senada dengan watak kehidupan, seperti yang pernah ditulis oleh Jermy Kitson dalam sebuah artikelnya: “Destiny is not a matter of chance, it is a matter of choice. It is not a thing to be waited for, it is a thing to be achieved”.
Ketentuan tentang surga dan neraka pun sebenarnya tidak lepas dari faktor memilih di mana akal, hati, perasaan, pikiran telah disedikan supaya anda menjadikannya alat untuk memilih. Kalau pilihan anda adalah berupa pemahaman bahwa nasib bersifat passive-constant dan sudah menjadi hak bagi kekuatan x di luar diri anda (meskipun tidak berarti benar atau salah), maka pilihan tersebut melahirkan konsekuensi berupa tanda seru yang menyuruh anda berhenti membicarakan apalagi mengubahnya.
Sebaliknya jika anda memilih untuk memahami bahwa nasib bersifat active-dynamic dan changeable (meskipun tidak berarti benar-salah), maka pilihan tersebut mempunyai konsekuensi bahwa anda diperintah untuk menemukan jawaban-jawabannya. Di sinilah sesungguhnya makna belajar terjadi . Seperti dinyatakan oleh para tokoh pengembangan diri, termasuk Charles Handy yang mengatakan: “The real learning is self discovery by exploration”. Belajar berarti mengubah situasi ke arah yang lebih baik berdasarkan proses kemampuan anda.
Dengan memahaminya sebagai materi pembelajaran diri maka nasib adalah situasi tertentu yang terjadi secara repetitive akibat dari pilihan anda terhadap mindset (pola pikir) tertentu. Seperti anda ketahui, mindset adalah satu perangkat software yang cara kerjanya telah memberi ilham pencipta komputer atau mesin fotocopy di mana print-out atau hasil copy-an adalah bentuk fisik dari kandungan materi di dalam layar. Artinya realitas eksternal bukanlah matter of real tetapi lebih merupakan matter of attitude, atau meminjam istilah Stephen Covey, “Apa yang tampak di luar diciptakan dari apa ada yang di dalam”. Nah, berangkat dari logika tersebut, maka perubahan nasib harus dimulai dari mengubah konstruksi dan substansi software anda. Untuk mengubahnya pelajarilah materi hidup berikut.
1. Kesadaran
Sampai tahun 2003 nanti berakhir, kemungkinan besar masih terdapat sembilan wilayah hidup yang dianggap sebagai wilayah berharga di mana warna-warninya ditentukan berdasarkan warna mindset. Kesembilan wilayah hidup tersebut antara lain: kesehatan fisik, kewibawaan professional, kemakmuran finansial, keharmonisan hubungan, ketenangan spiritual, keseimbangan mental, keharuman reputasi moral, kewibawaan kelas sosial, dan apa yang digolongkan oleh lingkungan sebagai calon penghuni surga. Kalau kaitannya dengan nasib, pertanyaan yang patut anda renungkan adalah bagaimana kesadaran anda mendifinisikan hal-hal tersebut yang secara repetitive terjadi di dalam hidup anda selama ini.
Dalam hal keuangan, apakah anda selama ini merasakan kemakmuran atau kemelaratan? Apakah anda tipe manusia yang mudah terserang penyakit atau sebaliknya? Apakah anda seorang yang mudah mendapatkan pekerjaan atau sebaliknya? Apakah anda tipe orang yang setiap kali mengakhiri hubungan dengan konflik atau sebaliknya? Apakah anda selama ini digolongkan orang yang layak dipercaya atau sebaliknya? Apakah anda diperlakukan sebagai individu dengan kelas sosial tinggi atau sebaliknya? Apakah anda merasa selama ini orang yang sering rugi atau sebaliknya.
Berilah definisi dari kedua situasi yang menyimpan perbedaan diametral tesebut. Terimalah semuanya itu dengan kesadaran tinggi apapun definisi yang anda miliki.
Pertanyaan kedua dan paling mendasar bagi anda adalah mengapa keadaan tersebut berlangsung secara berulang-ulang sehingga nampak seperti kemutlakan atau pengecualian. Bahkan terkadang perubahan sekuat apapun yang dilakukan, tetap tidak menembus pada akar pokoknya. Hampir dapat dipastikasn bahwa penyebabnya adalah karena akar pokoknya bukan pada persoalan mengubah situasi eksternal melainkan meningkatkan (upgrading) kualitas personal. Mengapa tidak banyak orang miskin menjadi kaya, tidak banyak orang bodoh menjadi pintar, tidak banyak orang yang berkasta sosial rendah menjadi kasta kelas satu? Padahal mereka awalnya menggunakan udara yang sama untuk bernafas dengan orang kaya, orang pintar, atau orang terhormat.
Itulah kebenaran logis yang bisa anda jadikan rujukan bahwa kualitas internal menentukan situasi eksternal. Jika anda bernai jujur maka akan nampak bahwa bukan kemakmuran yang sulit anda dapatkan, tetapi karakter kemelaratan yang terus menyelimuti bahkan anda keloni. Bukan kebahagian yang tidak anda temukan, tetapi rasa nestapa dan rasa tidak memiliki harga diri yang tidak mampu anda lawan. Bukan pekerjaan yang sulit didapatkan tetapi karakter dan keyakinan penganggur yang belum sepenuhnya anda lawan. Jadi persoalannya lebih kepada “how do you feel about youself?”. Dan itulah “the mindset”, yang perubahannya menjadi awal dari perubahan nasib.
2. Kepemilikan
Kesadaran bahwa anda sudah memiliki definisi tertentu tentang nasib anda baru berupa angka nol tetapi tidak berarti sia-sia, karena dari angka tersebut semua hitungan dimulai. Untuk mengubah nasib anda ke arah yang lebih baik, anda masih membutuhkan angka satu, dua, dan tiga. Dan sekali lagi jangan lupa, perubahan tersebut harus dimulai dari dalam bukan dari perubahan konstruksi keadaan di luar. Langkah anda mengubah situasi eksternal bisa jadi hanya mampu mengubah format situasi tetapi ujung-ujungnya kembali lagi pada pola nasib anda semula.
Angka satu yang anda butuhkan adalah merebut kepemilikan hidup. Kepemilikian adalah full responsibility and ownership. Andalah yang bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup karena andalah yang memilikinya. Jika kepemilikan tidak pernah terjadi pada anda maka kemungkinan besar karena anda menggunakan naskah hidup orang lain atau anda menyerahkan naskah tersebut kepada orang lain. Hal itu menyebabkan muatan mindset anda adalah anda bisa berubah kalau lingkungan atau ada orang lain mengubah anda. Praktek yang sering terjadi adalah berupa penudingan kepada pihak lain atas sesuatu yang menimpa anda, meskipun bisa jadi benar, tetapi jika anda telaah secara cermat dan jujur pernahkah penudingan tersebut berhasil mengubah kehidupan anda ke arah yang lebih baik?
Penudingan atau blaming others sama artinya dengan memberi peluang kepada pihak lain untuk mengontrol kehidupan anda. Oleh karena itu amatlah penting bagi anda untuk segera menjadi master bagi kehidupan pada saat anda mulai merebut tanggung jawab hidup. Dari sinilah perubahan akan dimuali. Begitu sudah tertanam rasa tanggung jawab yang penuh atas hidup anda, maka kekuatan yang muncul berupa kekuatan untuk menciptakan situasi tertentu bukan kekuatan untuk membiarkan situasi terjadi. Penyebab yang paling dominan mengapa nasib buruk bisa terjadi secara berulangkali adalah karena anda membiarkan situasi tersebut terjadi dan telah masuk ke dalam sistem keyakinan anda bahwa bukan menjadi tanggung jawab anda untuk mengubahnya.
3. Kristalisasai
Seperti apakah perubahan nasib yang anda kehendaki jika anda telah menerima definisinya dan bertanggung jawab penuh untuk menciptakan perubahannya? Perubahan bukanlah tempat di mana anda akan menginjakkan kaki terakhir atau Island of end, tetapi lebih merupakan manner of traveling. Sama juga dengan kesuksesan hidup bahwa ia bukanlah destination, akan tetapi the process of how. Karena berupa quality of process, maka jangan sampai anda masuk ke dalam perangkap utopis yang menawarkan kata-kata ‘nanti’. Anda dibujuk untuk merencanakan perubahan setelah anda sukses atau tiba di island of end yang berarti tidak akan pernah terjadi.
Merubah situasi hidup identik dengan mengubah naskah hidup dan harus mulai anda lakukan dengan melawan paradigma ‘nanti’ sebagai pertanda bahwa anda tidak menunggu perubahan eksternal terjadi. Awalilah perubahan dengan mulai menulis naskah hidup kedua di atas kertas sejarah dengan tinta imajinasi dan cat visualisasi. Naskah yang sudah anda pinjamkan kepada orang lain anggaplah sudah menjadi sejarah yang berarti pelajaran tetapi jangan sampai anda menjadi terbelenggu oleh keberadaannya. Anda membutuhkan imajinasi dan visualisasi mental tentang format perubahan nasib yang anda kehendaki.
Jika anda bertanya anugerah Tuhan yang jarang dimanfaatkan oleh bangsa dunia yang berkasta rendah, maka jawabnya adalah imajinasi dan visualisasi kreatif, meskipun dipersembahkan secara gratis. Akibatnya terciptalah tradisi yang menghargai tahayul ‘jangan-jangan’ ketimbang keberanian mengambil resiko; menghargai pasrah terhadap situasi ketimbang bereksplorasi. Padahal seluruh kemajuan membutuhkan perubahan, meskipun tidak semua perubahan melahirkan kemajuan.
Sekarang jika anda sudah tidak menemukan alasan lain untuk menafikan kebenaran bahwa semua kreasi manusia di alam ini diciptakan pertama kali oleh imajinasi mental mulai dari model kursi duduk sampai pesawat tempur, nah begitu juga dengan model perubahan yang ingin anda wujudkan. Kristalisasi mental adalah proses di mana anda menggunakan potensi imajinasi atau visualisasi tentang anda secara bayangan sampai ke tingkat mengkristal ke dalam karakter. Imajinasi adalah apa yang anda inginkan untuk terjadi, “the wanting to”, bukan apa yang anda miliki saat ini, “the fear from”. Jangan hidup di dalam sejarah dan di dalam realitas jika perubahan nasib menjadi agenda anda, tapi hiduplah dengan imajinasi anda untuk mengubah sejarah dan realitas.
Pemaparan diatas mungkin tidak lengkap dan masih tersedia cara-cara lain untuk bisa merubah nasib anda. Satu hal yang pasti adalah: Segeralah miliki kendali hidup diri anda sendiri. Jangan pernah menunggu orang lain merubahnya dan cobalah memulai semua itu sekarang juga. Semoga berguna.
Mengubah Nasib
Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 9 Januari 2003